GpYoGfM7BSA6BSAlTUY0BUG0TY==
Breaking
NEWS

Kenapa Orang Meninggal Bisa Jadi Tersangka? Ini Penjelasan Hukum Laka Lantas di Indonesia

Ukuran huruf
Print 0


Nias Selatan, MIMBARBANGSA.CO.ID
Publik kerap dibuat bertanya-tanya ketika mendengar kabar bahwa seorang pengendara sepeda motor yang meninggal dunia dalam kecelakaan lalu lintas justru ditetapkan sebagai tersangka. Fenomena ini kerap memunculkan persepsi keliru, seolah aparat penegak hukum “menyalahkan korban” atau “mengkriminalisasi orang yang sudah wafat”. Padahal, dalam hukum lalu lintas di Indonesia, penetapan tersebut memiliki dasar hukum dan prosedur yang jelas, meski tetap menyisakan perdebatan etik.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ), setiap pengemudi wajib mengemudikan kendaraannya dengan wajar, penuh konsentrasi, dan mematuhi aturan yang berlaku. Apabila karena kelalaiannya seseorang menyebabkan kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan, luka, atau bahkan kematian, maka yang bersangkutan dapat dijerat Pasal 310 UU LLAJ. Kewajiban kehati-hatian ini berlaku bagi semua pengguna jalan, baik pengemudi mobil maupun sepeda motor.

Penerapan Terhadap Pengemudi Anak di Bawah Umur

Dalam sejumlah kasus, kecelakaan melibatkan pengendara anak di bawah umur yang secara hukum belum memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM). Terhadap kondisi ini, aparat penegak hukum dapat menerapkan Pasal 310 ayat (4) UU No. 22 Tahun 2009, yang berbunyi: “Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan korban meninggal dunia”. Selain itu, anak di bawah umur otomatis melanggar Pasal 281 UU LLAJ, yang menyatakan bahwa mengemudikan kendaraan bermotor tanpa memiliki SIM merupakan pelanggaran hukum.

Tidak hanya itu, jika dalam peristiwa kecelakaan ditemukan pelanggaran terhadap Pasal 109 ayat (1) UU LLAJ, yakni: “Pengemudi kendaraan bermotor yang akan melewati kendaraan lain harus menggunakan lajur atau jalur jalan sebelah kanan dari kendaraan yang akan dilewati, mempunyai jarak pandang yang bebas, dan tersedia ruang yang cukup”, maka unsur kelalaian menjadi semakin kuat. Kombinasi pelanggaran ini dapat menjadi alasan hukum untuk menetapkan pengendara, meskipun masih di bawah umur, sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas kecelakaan tersebut.

Proses Penentuan Tersangka

Dalam hukum acara pidana, seseorang hanya dapat ditetapkan sebagai tersangka apabila terdapat bukti permulaan yang cukup, yaitu minimal dua alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP. Dalam kasus kecelakaan, alat bukti tersebut biasanya meliputi keterangan saksi mata, rekaman CCTV, hasil olah TKP, keterangan ahli laka lantas, hingga visum et repertum.

Jika hasil penyidikan menunjukkan bahwa pengendara — baik orang dewasa maupun anak di bawah umur — melakukan pelanggaran yang menjadi penyebab utama terjadinya kecelakaan, maka penetapan tersangka dapat dilakukan meskipun pelaku telah meninggal dunia.

Mengapa Proses Tetap Dilanjutkan?

Kepolisian memiliki kewajiban untuk menuntaskan penyelidikan dan penyidikan hingga menghasilkan kesimpulan siapa yang paling bertanggung jawab. Hal ini diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 15 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penanganan Kecelakaan Lalu Lintas.

Penetapan status tersangka pada korban yang telah meninggal bukan untuk membawa perkara itu ke persidangan, melainkan sebagai langkah administratif dan prosedural agar penyidikan dapat dihentikan secara resmi melalui Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Sesuai Pasal 109 ayat (2) KUHAP, penyidikan dihentikan demi hukum apabila tersangka meninggal dunia.

Perdebatan Etis

Meski prosedur ini diakui secara hukum, sejumlah kalangan menilai penetapan tersangka terhadap orang yang sudah wafat sebaiknya dihindari untuk mengurangi stigma negatif kepada keluarga korban. Alternatifnya, penyidik cukup menyimpulkan penyebab kecelakaan dan menetapkan bahwa pelaku kelalaian telah meninggal dunia, kemudian menerbitkan SP3 tanpa embel-embel status tersangka.

Namun, sebagian penyidik berpendapat bahwa penetapan status tersebut tetap diperlukan untuk memperjelas hasil penyidikan, termasuk dalam perkara klaim asuransi atau tanggung jawab perdata. Tanpa kesimpulan resmi, proses administratif di sektor lain kerap terkendala.

Intinya

Fenomena “orang meninggal jadi tersangka” dalam kecelakaan lalu lintas bukanlah bentuk kriminalisasi terhadap korban, melainkan konsekuensi logis dari mekanisme hukum acara pidana dan aturan lalu lintas di Indonesia. Hasil penyidikan diperlukan untuk memastikan transparansi, akuntabilitas, dan kepastian hukum bagi semua pihak, meskipun pada akhirnya proses pidana berhenti karena subjek hukum telah tiada.

Dengan demikian, publik diharapkan memahami bahwa langkah tersebut adalah bagian dari prosedur hukum yang bertujuan menuntaskan perkara, bukan sekadar mencari kambing hitam di balik tragedi di jalan raya.

Artikel ini ditulis oleh Waoli Lase, Wartawan Muda PWI. 

Kenapa Orang Meninggal Bisa Jadi Tersangka? Ini Penjelasan Hukum Laka Lantas di Indonesia
Periksa Juga
Next Post

0Komentar

 

 
 

 
 

 
Tautan berhasil disalin